Baru saja menamatkan
sebuah novel yang saya pinjam dari aplikasi iJakarta. Judulnya The Book Club.
Berkisah tentang persahabatan lima wanita yang memiliki karakter berbeda,
tetapi saling menguatkan dalam setiap masalah yang silih berganti.
Tokoh-tokohnya memang sangat ‘matang’ sekali serta kisahnya sangat out of my league.
Bukan berarti terlalu filosofis seperti The Alchemist
Paulo Coelho atau The
Little Prince Antoine de Saint-Exupèry. Hanya, karena kisahnya tentang
kehidupan pernikahan, rasanya saya agak kurang tergugah. Anggap saja, karena
memang saya belum menikah. Meskipun lebih cocok dibaca para wanita matang dan
dewasa, tentu saja novel itu tidak ada salahnya juga dibaca para gadis seusia
saya.
Namun, mungkin memang
perlu sedikit bersabar untuk membacanya karena plot-plot awal berjalan agak
lambat. Saya yang terbiasa membaca novel misteri dan kriminal dengan alur
cepat, kadang melompat, hingga tiba-tiba terhantam telak pada twist yang unbelievable,
tentu saja agak terkantuk-kantuk dan bosan pada lembar-lembar awal. Konflik
yang menghantam baru benar-benar terasa sensasinya ketika sudah hampir setengah
bagian. Tidak terlalu buruk, mengingat banyak pelajaran kehidupan yang terselip
dalam setiap kisahnya.
Bicara tentang membaca
buku, terutama novel, tentu sedikit banyak akan melibatkan seluruh perasaan
kita ketika mencoba memahami jalan cerita dan pikiran para tokohnya. Novel
drama percintaan remaja maupun wanita dewasa biasanya punya permainan emosi
yang intens dengan pembaca setianya. Perasaan tergugah, merana, ikut terluka,
hingga tarian kupu-kupu dalam perut pun bisa dihadirkan dan ditularkan.
Meskipun mungkin saja agak terkesan menye, rapuh, atau terlalu feminim, bahkan
emosional.
Bagi sebagian orang,
termasuk saya, menganggap novel cinta-cintaan itu cheesy–kecuali bagi penulis
yang mampu mengemas tulisannya sehingga tidak terlampau kekanakan dan
sentimental. Emosional, rapuh, dan menye itu terlalu merangsang amigdala.
Padahal, sekali-kali bagian korteks prefrontal perlu diajak bersenang-senang.
Misalnya, dengan bacaan berat semacam sastra klasik atau novel-novel rumit
lainnya. Tapi semua itu hanya perkara selera, sih.
Mungkin memang
sebagian orang menganggap cerita roman itu terlalu shallow, hanya
karena konfliknya yang terlalu sederhana, kurang rumit, dan itu-itu saja.
Membosankan. Apalagi jika penulisnya kurang mampu mengeksplorasi konflik
sehingga kurang greget ataupun karakterisasi tokoh yang kurang mencolok
perbedaannya satu sama lain. Semakin paripurnalah sifat membosankan bacaan itu.
Cinta dunia nyata memang tidak se-kebetulan dan sesederhana konflik dalam novel
roman. Jikalau kisahnya dramatis, tentu tidak se-hiperbolis kisah dalam novel
percintaan itu. Hiperbolis atau tidaknya, tergantung perspektif, sih.
Masing-masing orang punya pandangan sendiri-sendiri. Bisa saja masalah kecil
bisa tampak besar, begitupun sebaliknya. Belum tentu sebuah masalah itu
dianggap besar bagi sebagian orang, dan sebaliknya.
Seperti perdebatan
kecil antara Midge dan Doris, dalam The Book Club,
tentang novel roman dan bukan roman. Midge yang menganggap cerita roman
membosankan, sedangkan Doris bersikeras bahwa pandangan Midge itu sempit.
Bagaimanapun juga, pembaca militan tidak akan menghakimi sebuah tulisan atau
novel dari genrenya. Setiap buku punya pangsa pasar. Setiap buku punya kalangan
pembaca favoritnya masing-masing. Semua itu hanya perkara selera.
Mungkin tampak keren
dan intelek ketika membaca novel kriminal-detektif, sastra klasik, sampai
nonfiksi sains tingkat tinggi. Saya pun punya perspektif seperti itu. Jenis
bacaan, disepakati atau tidak, memang menggambarkan intelektualitas pembacanya.
Mau tidak mau stigma–dan kenyataan–tersebut tergambar dalam masyarakat pembaca
kita. Pembaca pun digambarkan memiliki kasta, strata sosial.
Pecinta sastra masih
bercokol dalam strata paling tinggi. Kita memang tidak bisa memaksakan selera
bacaan satu sama lain. Kita juga tidak bisa dengan mudah menghakimi orang
melalui bacaannya. Bukan pakem absolut mengenai pembaca roman itu terlalu
sentimental dan menye atau pembaca sastra itu keren sampai langit ketujuh.
Lagipula, dalam
waktu-waktu tertentu kita akan sekali-kali ingin keluar dari cangkang bacaan
favorit kita. Saya pun. Pembaca militan genre kriminal-detektif yang sering
mengesampingkan sisi sentimental, kadang-kadang juga ingin membaca tulisan yang
bisa menghadirkan tarian kupu-kupu dalam perut. Jenuh juga kan membaca satu
genre itu-itu saja, sekali-kali juga perlu suasana baru.
Buku atau novel bagus
dan tidak bagus itu bukan perkara genrenya, tapi penulisnya. Jika penulisnya
mampu mengemas konflik dengan baik, tentu tema percintaan sesederhana apapun akan
tampak bagus dan menarik. Begitu pun jika penulisnya kurang riset data dan
fakta, bisa saja membuat tema kriminal-detektif pun akan tampak sangat shallow.
Don't judge a book by
its genre.
And don't judge
people quickly by their favorite genre. It's all about taste~
dulu diajarin sama guru Bahasa Indonesia kalo kata sastra itu awalnya berarti tulisan. dan kalo nggak salah, cerpen, novel, puisi, dan kawan-kawannya itu termasuk sastra. saya jadi bingung pas ada orang yang komen di blog saya kalo dia lebih suka baca novel sastra ketimbang novel yang saya review.
BalasHapussoal selera, saya termasuk yang percaya bahwa kadang kita memang perlu baca sesuatu yang di luar selera. dulu males banget baca fiksi fantasi. ternyata, pas baca novel fikfan yang well-written, nggak ada plothole, dan idenya menarik, saya bisa suka juga, bahkan sampai menunggu sekuelnya. novel chicklit juga begitu. awalnya males banget baca novel dengan tema anak muda banget, cecintaan segala macem. tapi, ada juga penulis yang berhasil mengemas cerita cecintaan dengan rapi dan menggabungkannya dengan tema lain.
Yap! Benar sekali mba :)
Hapus