Senin, 23 Januari 2017

[#KampusFiksi 10 Days Writing Challenge] Day #6 – Entahlah…

21:21 2 Comments
Challenge hari keenam membuat saya pusing tujuh keliling. Saya bingung benar harus menulis apa. Seumur hidup, saya tidak pernah berkoar-koar mengenai kebanggan saya terhadap sesuatu. Seumur hidup pula, saya belum pernah menemukan orang yang terang-terangan meremehkan apa yang saya banggakan. Lha wong nggak tahu apa yang saya banggakan, bagaimana mau meremehkan? Hanya saja, saya pernah mendapatkan respon datar dan cenderung meremehkan ketika saya berbicara antusias mengenai sesuatu. Sesuatu tersebut bukan sesuatu yang saya banggakan, pokoknya sesuatu yang lain. Halah. Ribet, ya? Hahaha.
Saya cenderung tidak ambil pusing jika seseorang meremehkan sesuatu yang membuat saya antusias. Sebab saya berpandangan bahwa setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap sesuatu. Mungkin bagi mereka hal itu sangat biasa saja, bahkan cenderung remeh. Tetapi saya akan merasa jengkel jika seseorang tersebut berulangkali menunjukkan ekspresi malas, terkesan tidak suka, iri, dengki atau apapun itu. Biasanya, jika saya menangkap ekspresi tidak menyenangkan dari lawan bicara, saya langsung buru-buru mengakhiri cerita saya. Akhirnya, saya pun memilih untuk menjadi pendengar-pasif-yang-baik. Saya hanya manggut-manggut, sesekali tersenyum, sesekali menanggapi dengan ‘aah’, ‘hmmm’, ‘oooh’, ‘uuuh’, dan ‘hehe’. Tolong jangan berpikiran ngeres dulu.
Dulu, saya memiliki lawan bicara yang dekat dengan saya–sejak balita–sebut saja Mbak Della (nama samaran). Sejak kecil, kami selalu main bareng, mandi bareng, bahkan saya sudah menganggapnya seperti kakak kandung. Setelah kami bertumbuh-kembang, saya merasa nyambung ngobrol dengan dia, karena pada dasarnya dia suka cerita, sedangkan saya lebih suka mendengar. Klop, kan?
Semakin lama saya merasa setiap kami ngobrol, saya seperti sedang berada di kelas dengan sistem one-way communication. Saya hanya dapat giliran ngomong, ketika dia memberi kesempatan. Sisanya, dia adalah bintangnya, center of attention. Sayangnya, sekalinya saya ngomong, dia jarang menanggapi dengan menyenangkan, sebagaimana yang selalu saya tunjukkan. Bahkan pernah, ketika saya bercerita dengan antusias tentang sesuatu yang saya sukai, dia malah memasang ekspresi meremehkan, dan itulah salah satu ekspresi yang saya benci seumur hidup. Jika dideskripsikan, dia tersenyum singkat, sudut bibir terangkat ke atas, kelopak mata turun.  Lalu, setelah itu, saya langsung menghentikan cerita. Dasar nggak peka, dia malah dengan bangganya cari topik lain dan mendominasi percakapan selama a couple of hours. Huh!
Kejadian lain yang juga bikin saya tambah jengkel dengan Mbak Della adalah, nggak ada angin, nggak ada hujan, tiba-tiba saja–secara nggak langsung–meremehkan hal yang terkait dengan saya. Saya yang punya tingkat sensivitas tinggi terhadap segala bentuk sindiran dan kalimat tersirat langsung merasa mak jleb. Ah, sudahlah, kalau bicara tentang hal menyedihkan itu memang nggak ada habisnya. Saya mencoba untuk melupakan kesalahan-kesalahan kecil tersebut.
Belakangan saya tahu, setelah saya bergelut dengan psikologi manusia, Mbak Della ini memang tipe orang yang suka sekali jadi center of attention, suka berbicara tapi nggak suka mendengar, dan kadang-kadang suka pamer. Sifat suka meremehkan orang dan melebih-lebihkan hal-hal terkait dengan dirinya adalah salah satu bentuk rasa insecure-nya. Bukan sok menganalisis, namun saya tahu jelas latar belakang hidupnya, keluarganya, dan sebagian cerita hidupnya.
Di titik ini saya berasa ingin nyanyi Undisclosed Desires-nya Muse. Hahaha. #krik #nggaknyambung #biarin.
I want to reconcile the violence in your heart~
I want to recognise your beauty is not just a mask~
I want to exorcise the demons from your past~
I want to satisfy the undisclosed desires in your heart~
Ah, sudahlah, kalau saya terlalu banyak nulis kesannya jadi malah curcol. Kalau curcolnya terlalu banyak, postingan ini malah jadi ghibah. Baiklah, sekian tulisan nggak jelas ini. Memang sengaja tidak saya tulis secara lugas dan gamblang, karena tentu saja ada hal-hal yang saya sembunyikan dan tidak saya paparkan ke muka publik secara blak-blakan.

Solo, 23 Januari 2017

Minggu, 22 Januari 2017

[#KampusFiksi 10 Days Writing Challenge] Day #5 – Tiga Film Paling Berkesan

21:34 4 Comments
Finally, sampai juga di tantangan hari kelima. Setelah sebelumnya berjibaku dengan tantangan yang mengorek kehidupan pribadi dan membuat saya mikir keras supaya curcolnya nggak terlalu kentara. Hahaha. Sebenarnya, akhir-akhir ini saya lebih sering nonton drama Korea daripada nonton film. Lagipula, kebanyakan film-film yang pernah saya tonton sangat berkesan hingga kadang bikin saya hangover. Beberapa yang paling berkesan juga sudah pernah saya review di blog ini. Sedangkan pada postingan kali ini, saya berusaha mereview tiga film yang sebenarnya sudah lama saya niatkan untuk nge-review. Well, inilah tiga film yang membuat saya berkesan langsung dari hati terdalam. #Eaaaa. Check this out;
Hello Stranger (2010)
[source]
Salah satu film Thailand yang memorable dan bikin saya geregetan maksimal! Saya nonton film ini karena dapat rekomendasi dari salah satu teman saya. Akhirnya, saya minta dua film Thailand yang menurutnya bagus; Bangkok Traffic Love Story dan Hello Stranger. Biasanya, saya skeptis dengan segala jenis film romance. Monoton, cheesy, dan too good to be true, kalau kata saya, sih. Tetapi ekspektasi jelek saya tidak terbukti, malah kedua film tersebut berhasil bikin saya baper dan geregetan double-delight! Halah. Terutama Hello Stranger yang endingnya, ugh…!
Film ini berkisah tentang seorang wanita dan seorang pria yang bertemu ketika liburan ke Korea Selatan. Cerita berawal ketika Dang (Chantavit Dhanasevi) pergi ke Korea Selatan dengan kondisi absurd pasca dijahili teman-temannya ketika dalam kondisi mabuk berat. Malam sebelumnya, Dang mabuk-mabukan sama teman-temannya sampai pagi, padahal pagi itu Dang harus segera ke airport untuk ikut tur bersama rombongan ke Korea. Kondisi Dang yang mabuk berat membuatnya jadi bahan kekonyolan teman-temannya. Sesampai di airport, Dang dibiarkan pakai kaos tipis, celana pendek, dan tas kecil. Di saat yang bersamaan, ada seorang wanita bernama May (Nuengthida Sophon) yang juga bertolak ke Korea untuk menghadiri pesta pernikahan temannya.
Singkat cerita, pertemuan Dang dan May di Korea memang terbilang aneh. Sehabis makan di restoran lokal dan mabuk, Dang berniat pulang ke hotel tempat dia menginap, tapi entah kenapa tiba-tiba saja dia nyasar dan ketiduran di penginapan May. May kaget tapi juga kasihan, karena di luar dingin banget, akhirnya Dang dibiarkan tidur di depan pintu penginapan. Dang yang ternyata ketinggalan rombongan turnya, akhirnya lantang-luntung nggak karuan dan memilih ngintilin May ke manapun dia pergi, sampai May pun ngerasa jengkel dan gerah. Hahaha. Tapi akhirnya May membiarkan Dang ngikutin dia, karena kasihan kondisi Dang memang mirip turis-gembel-yang-nyasar.
Selama di Korea mereka selalu jalan bareng, tapi mereka bikin perjanjian untuk tidak saling memperkenalkan nama! Sudah jalan bareng ke sana kemari, namun mereka saling nggak mau tahu nama masing-masing. Memang sialan benar film ini! Sampai akhirnya, liburan May usai dan ingin segera pulang ke Thailand. Sampai di titik itu, masing-masing dari mereka tetap saja belum tahu nama masing-masing. Selanjutnya sampai ending tidak akan saya ceritakan. Pokoknya, endingnya ugh… banget! Sudah, ah, nanti saya malah tambah baper. Akibat nulis ini, saya berniat nonton ulang Hello Stranger lagi. Asli!
The Theory of Everything (2014)
Rating IMDb: 7.7/10
[source]
Awalnya, saya ingin nonton film ini karena tertarik dengan kisah yang diangkat, tentang kehidupan Stephen Hawking. Semua pasti tahu siapa Stephen Hawking, seorang ilmuwan astrofisika brilian sekaligus kontroversial yang mengaku tidak percaya Tuhan. Bagi yang belum nonton, jangan takut kalau-kalau film ini akan menyajikan segala tetek bengek teori fisika yang bikin enek. Hahaha. Film ini bercerita tentang kehidupan Stephen Hawking sejak mahasiswa hingga akhirnya dia harus berjuang melawan penyakit ALS (Amyothrophic Lateral Syndrom) yang menggerogotinya.
Sebagian besarnya ceritanya berisi tentang kisah cinta Stephen Hawking (Eddie Redmayne) dan mantan istrinya Jane Wilde (Felicity Jones), dari mulai pacaran saat masih mahasiswa hingga menikah. Ketika akhirnya Stephen divonis ALS dan harapan hidupnya tinggal 2 tahun, kisah cintanya dengan Jane diuji. Awalnya, Stephen berniat untuk menjauhi Jane, namun akhirnya Jane tidak masalah harus mendedikasikan seluruh hidupnya untuk merawat Stephen. Bikin terharu….
Hal yang paling membuat saya terkesan adalah usaha Eddie Redmayne dalam memerankan Stephen Hawking. Benar-benar keren sekali! Postur dan gesturnya pun hampir menyerupai sosok aslinya. Konon, untuk mendapatkan tubuh sekurus itu, Eddie Redmayne harus menurunkan berat badannya hingga 7 kg. Saya juga suka penjiwaan karakternya, terutama ketika Stephen Hawking mulai mengalami kelemahan otot akibat ALS. Bahkan katanya, akibat dari harus berlama-lama berperan seperti itu, Eddie Redmayne mengalami sedikit pergeseran tulang. Tidak heran kalau akhirnya usaha Eddie Redmayne diganjar dengan piala Golden Globe sebagai aktor terbaik.
Akibat nonton film ini, saya jadi suka sekali sama Eddie Redmayne. Bahkan, saya kepingin banget nonton filmnya yang lain; Fantastic Beast and Where to Find Them dan The Danish Girl. Sayang, kemarin ketika Fantastic Beast sedang booming, saya belum sempat nonton. Hiks.
The Imitation Game (2015)
Rating IMDb: 8.1/10
[source]
Saya baru banget nonton film ini beberapa minggu lalu. Sebenarnya, tertarik nonton film ini bukan karena Alan Turing-nya, namun karena aktor utamanya Benedict Cumberbatch. Alasan receh, hahaha. Sebab saya sudah kadung kepincut dengan aktingnya Uncle Ben ketika jadi Sherlock Holmes di serial BBC Sherlock (2010-2017). Saya kepingin banget lihat aktingnya ketika memerankan Alan Turing yang rambutnya klimis maksimal itu. Hahaha.
Film ini berkisah tentang Alan Turing (Benedict Cumberbatch), seorang ahli matematika yang berperan sebagai kriptoanalis dalam Perang Dunia II. Sumbangsih Alan Turing dalam perang tersebut adalah menerjemahkan pesan rahasia Jerman dengan menggunakan Enigma. Sayangnya, dalam menggunakan Enigma harus mengetahui rumus tertentu sehingga pesan rahasia Jerman bisa diterjemahkan. Nah, Alan Turing menciptakan sebuah mesin yang digunakan untuk mencari rumusan kode untuk memecahkan penggunaan Enigma.
Sebagaimana kisah hidup Alan Turing yang tragis, ending film ini juga tragis. Turing yang memiliki kelainan seksual (gay), memilih menjalani suntik hormon alih-alih menjalani hukuman penjara. Inggris masa itu memang masih menganggap bahwa seseorang yang memiliki kelainan seksual sangat berbahaya. Awalnya, saya kira Turing bakal menikah dengan Joan Clarke (Keira Knightley) karena sempat menjalin hubungan hingga tunangan. Namun akhirnya, Alan Turing mengaku kalau dia sulit untuk membohongi dirinya sendiri (menyukai wanita). Sehingga, dia membatalkan pernikahan dengan Clarke. Pasaca Perang Dunia II, Joan Clarke pun menikah dengan orang lain. Hiks.
Wow, panjangnyaaaa! Kalau disuruh nulis tentang film, saya memang susah ngerem. Baiklah, cukup sekian review panjang guna memenuhi tantangan hari kelima ini. Tangan saya sudah capek dan mata saya sudah berair akibat terlalu lama mantengin laptop. Hehehe.

Solo, 22 Januari 2017

Sabtu, 21 Januari 2017

[#KampusFiksi 10 Days Writing Challenge] Day #4 – When I First Met…. (fill in the blank)

20:20 4 Comments
Awalnya, saya bingung harus menulis apa di tantangan hari keempat ini. Saya merasa tidak memiliki pertemuan mengesankan dengan si ‘dia’. Bahkan, saya bingung juga, sebenarnya si ‘dia’ ini berjenis kelamin apa? Apakah harus berlawanan atau boleh sesama jenis? Rasanya, agak aneh juga harus menulis pertemuan pertama dengan sesama jenis, mengingat keterlibatan emosionalnya tidak sedahsyat jika bertemu dengan lawan jenis yang paling spesial. Catat; PALING SPESIAL! Sebab yang spesial tidak akan pernah terlupakan. #Eaaaa

Hingga kemudian playlist yang sedari tadi saya dengarkan memutar lagu yang level kebaperannya sampai langit ketujuh. Lebay memang, tapi akibatnya saya jadi teringat sesuatu. Setelah sekian lama saya mengabaikan hal-hal yang memicu tarian kupu-kupu dalam diafragma hingga menjejali diri dengan serangkaian aktivitas yang mengandalkan logika sebagai upaya menekan hal tersebut, akhirnya saya terpapar sentuhan yang tak disengaja. Kalimat saya terlampau konotatif, ya? Sengaja, biar sulit tertebak. Hahaha.

Kejadiannya sudah lama sekali, dua tahun lalu, sekitar awal tahun 2015. Sebenarnya, ini bukanlah pertemuan pertama kami. Ini adalah pertemuan kesekian, entah yang keberapa. Namun, pada saat itu lah saya merasa benar-benar ‘bertemu’ dan ‘melebur’ bersamanya. Entahlah, saya heran saja mengapa baru saat itu, momen yang bagi saya sungguh terlambat.

Saya bukanlah orang yang suka menginisiasi percakapan dengan lawan jenis. Antara malu dan gengsi, sih, sebenarnya. Entahlah, mungkin jauh di dalam alam bawah sadar, saya meyakini kalau cewek yang maju duluan itu tampak terlalu agresif.

Hingga akhirnya, saya dan dia berada dalam sebuah situasi. Bedanya, dulu kami merasa canggung satu sama lain karena merasa diawasi, sedangkan saat itu kami sedang menjadi seorang individu yang merdeka. Entah siapa yang memulai duluan, yang jelas masing-masing dari kami punya sumbangsih. Rasanya, percakapan kami menjadi lebih mudah, terbuka, dan mengalir, seperti sudah kenal lama. Perlahan saya pun merasakan sebuah kenyamanan, meskipun percakapan kami hanya seputar masalah remeh-temeh. Seperti terdengar bunyi ‘klik’ di kedalaman diri saya. Momen yang sangat langka, jarang sekali saya merasa bisa senyambung itu, apalagi dengan lawan jenis.

Aneh. Seringnya, saya merasa tidak nyaman ngobrol terlalu lama dengan lelaki. Seiring berjalannya waktu, biasanya saya ingin segera mengakhirinya. Tapi yang ini berbeda. Waktu rasanya berlalu sangat singkat, sebagian diri saya enggan untuk beranjak. Saya kadung terhisap dalam pusaran, susah lepas. Ah, lebay memang, tapi ini serius!

Sampai saat ini, saya pun terkadang nggak habis pikir; kok bisa-bisanya saya merasa ‘klik’ banget ngobrol sama dia? Saya pun mulai menghubung-hubungkan hal konyol seperti; kalau merasa nyaman dan ‘klik’ ngobrol, jangan-jangan he’s the one. Yailah, padahal belum tentu juga, kan? Barangkali kami memang punya sedikit kemiripan kode genetik. Halah. Memang kadang otak saya ini mendadak absurd. Pikiran itu lalu saya abaikan dan tepis jauh-jauh, karena sama sekali nggak rasional.

Jika dikilas balik, rasa-rasanya obrolan kami juga biasa-biasa saja. Atau mungkin, saya terlampau terkesima dengan keterbukaannya meladeni pertanyaan saya yang suka sekali mengorek-ngorek pribadi orang. Hahaha. Atau mungkin, karena memang dirinya tidak menunjukkan gelagat defensif ketika ngobrol dengan saya. Ah, entahlah, kenyamanan dan rasa ‘klik’ itu adalah sesuatu yang relatif dan abstrak. Bisa saja saya nyaman ngobrol dengan dia, tapi ternyata dia sebaliknya.

Sejak pertemuan tersebut, saya menantikan saat-saat di mana kami bisa bertemu lagi. Entah di situasi dan tempat yang sama atau di kesempatan insidental lainnya. Kami sempat beberapa kali bertemu, di situasi dan tempat yang berbeda. Lagi-lagi, saya sok gengsi. Alih-alih menyapa duluan, saya hanya diam pasif menunggu dia menginisiasi. Oke, bisa ditebak endingnya; tidak ada yang maju duluan. Saya malah sibuk mencari UFO lewat. Huft!

Sampai sekarang, saya masih penasaran. Ingin sekali melanjutkan percakapan kami yang, menurut saya, belum kelar. Atau mungkin, saya hanya ingin menganalisis lebih jauh, apakah obrolan kami akan tetap nyambung dan seru seiring berjalannya waktu. Atau mungkin, dengan cara itulah kami bisa semakin saling memahami lebih jauh. #Eaaa

Sekarang, kami sama-sama sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Saya pun sudah menganggap momen aneh tersebut hanya sebagai cerita masa lalu. Semoga jika suatu saat kami bertemu–secara insidental–lagi, percakapan yang belum kelar tempo lalu bisa berlanjut kembali. Halah.

Baiklah, daripada lama-lama saya jadi tambah curcol, lebih baik cukup saya akhiri saja. Saya juga bingung mau nulis apa lagi. Hehehe.



Solo, 21 Januari 2017

Jumat, 20 Januari 2017

[#KampusFiksi 10 Days Writing Challenge] Day #3 – Lima Resolusi 2017

22:14 2 Comments
Writing challenge hari ketiga semakin membuat saya memeras otak lebih lama. Sebab kelak tulisan ini akan menjadi semacam resolusi untuk tahun ini. Semoga harapan atau resolusi di bawah benar-benar bisa tercapai tahun ini. Aamiin. Baiklah, berikut harapan-harapan saya di tahun ini:

Pertama, kemandirian finansial. Saat ini, saya telah sampai di suatu titik di mana saya tidak ingin menjadi beban orang tua terlalu lama. Sebagai seseorang yang sudah berkepala dua, saya merasa harus benar-benar seratus persen mandiri. Salah satu jalan menjadi seorang mandiri yang paripurna adalah memiliki kemandirian finansial. Semoga harapan utama saya tersebut benar-benar terwujud di tahun ini. Aamiin.

Kedua, semakin produktif. Saya merasa selama tahun 2016 lalu, satu-satunya tulisan yang benar-benar saya kerjakan sepenuh jiwa raga hanyalah skripsi. Tentu saja, masih kurang. Selama mengerjakan skripsi, saya meng-hiatus-kan diri menulis hal lain, terutama yang berbau fiksi. Selain karena lelah harus menatap layar laptop terlalu lama, saya takut tiba-tiba skripsi saya mendadak freestyle, tidak sesuai kaidah ilmiah. Saya ‘kan suka sekali tiba-tiba menulis ‘meskipun’, ‘tetapi’, dan ‘walaupun’ di depan kalimat, yang tentu saja hal tersebut haram hukumnya dalam dunia penulisan ilmiah. Intinya, tahun ini saya ingin menjadi semakin produktif dalam semua hal yang bermanfaat, terutama menulis.

Ketiga, bertambah wawasan dan pengalaman. Salah satu cara untuk mewujudkan resolusi satu ini adalah memperbanyak membaca buku dan mengikuti kegiatan yang bermanfaat. Saya tidak akan membiarkan waktu luang saya terbuang sia-sia dengan kegiatan yang kurang penting. Tapi kalau weekend mengalokasikan waktu untuk marathon nonton drama Korea boleh, dong? Drama Korea itu bermanfaat untuk memicu sekresi air mata, lho, supaya mata selalu lembab dan bersih. #krik *mencoba menegosiasi diri*

Keempat, kematangan emosional. Baiklah, mungkin di usia yang sudah memasuki fase dewasa awal ini, saya sudah dituntut untuk menjadi lebih matang dan dewasa daripada sebelumnya. Proses menuju kematangan emosional memang panjang, meskipun sudah saya mulai jauh-jauh hari. Ibaratnya, masih loading. Tentu saja, kematangan emosional tidak hanya menjadi resolusi di tahun ini saja, malah mungkin akan berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya.

Kelima, yang paling penting, peningkatan spiritualitas. Dalam beberapa hal, saya memang masih kurang banyak. Sudah beberapa kali disindir Bapak juga perihal ilmu agama saya yang masih cetek. Ibadah saya pun masih belum seberapa. Kadang-kadang terjangkit futur. Intinya, saya masih perlu banyak tambahan dan tambalan. Sama seperti kematangan emosional, resolusi ini juga tidak akan berhenti di tahun ini, harus terus berlanjut hingga tahun-tahun mendatang.

Selama proses mewujudkan hal-hal di atas, semoga saya tetap istiqomah meskipun nama saya tidak ada ‘istiqomah’nya. Halah.

Poin-poin di atas memang tampak abstrak sekali, karena tahun ini memang puncak keabstrakan saya. Hmmm… barusan saya nulis apa, sih? Ah, mungkin saya sedang terdistrak oleh aroma nasi goreng dari luar. Perut saya mendadak keroncongan, tapi masih lebih baik daripada dangdutan. Hehehe. #krik

Sudah, sudah! Lelucon ini semakin ajinomoto micin saja. Sekian dan terima kasih.



Solo, 20 Januari 2017