Minggu, 14 Desember 2014

# College

Damn Bad Bureaucracy!

Sebel sih, tapi masih imut, kan? source: www.google.com
Maaf, jikalau judulnya tampak kasar. Sejujurnya, saya sedang sedikit kesal kemarin. Sebenarnya, antara kesal dan sedikit senang, sih. Pasalnya, Jumat kemarin adalah hari yang lumayan mengesalkan namun masih terselip pengalaman dan pelajaran yang berharga. Sejak pagi, sebenarnya saya baik-baik saja, namun sisi bad prejudice saya muncul ketika saya mengunjungi sebuah instansi di kota tempat saya tinggal dan menuntut ilmu.
Ya, jadi begini, Jumat kemarin adalah jadwal saya dan keempat teman sekelompok saya mengunjungi sebuah rumah sakit di kota Solo. Sebut saja Rumah Sakit X. Kami mengunjungi rumah sakit ini dalam rangka akan mengadakan wawancara dan observasi berkaitan dengan tugas mata kuliah Psikologi Abnormal.
Sebelumnya, kami sudah menyerahkan surat perijinan untuk mengadakan wawancara dan observasi di rumah sakit tersebut. And, you know what? Kami menyerahkan surat itu kira-kira sejak November minggu ketiga, rasanya. Kata petugasnya, sih, kami akan dihubungi lagi setelah seminggu. Namun jelang dua minggu, belum ada kabar sama sekali. Akhirnya, kami mencari-cari alternatif lain. Sampai saya kasihan dengan Irfa’, teman satu kelompok saya, dia yang paling aktif lari-lari kesana kemari. Sementara saya? Well, saya sedang prokrastinasi dan sedikit kurang tanggap plus masa bodoh-an, maklum akhir tahun menjelang liburan, penyakit menahun. Sampai kami berulang kali ke sana kemari, dan puncaknya hari Rabu kemarin, Irfa’ dihubungi pihak rumah sakit bahwa surat kami telah di-accept. Artinya, kami boleh melakukan wawancara di sana. Well, tentu saja kami senang. Lantas keesokan harinya, saya dan Sadhu mem-follow-up dan membuat kesepakatan hari kepada pihak rumah sakit untuk melakukan wawancara. Dibuatlah kesepakatan kami melakukan wawancara dengan dokter hari Jumat pagi.
Yup, anyway, sebenarnya saya mafhum. Mungkin kelambanan dari pihak rumah sakit dalam merespon sebegitu bejibunnya surat perijinan yang masuk diakibatkan karena sudah menjelang akhir tahun dan saatnya tutup buku. Inilah kesedihan mahasiswa, asal kalian tahu wahai pelajar SMA dan SMP di luar sana. Ketika kalian nanti sebagai mahasiswa dan kemudian kalian ditugaskan untuk ke lapangan, entah itu observasi, wawancara, penelitian, dan segala tetek bengek dunia akademis, maka pasti kalian akan pontang-panting dengan masalah perijinan! Perlu diingat, kalian tinggal di Indonesia, di mana sistem organisasinya banyak yang masih menggunakan tipe Latin dengan hierarki panjang. Halah. Apalagi di masa-masa tutup buku akhir tahun seperti ini. Kalian harus me-restock kembali kesabaran kalian. Sangat.
Okay, lanjut ke permasalahan awal. Nah, kemudian pada hari Jumat, kami pun bersama-sama datang ke rumah sakit tersebut. Setelah menunggu beberapa jeda, akhirnya sekitar jam sepuluh kami dipertemukan dengan sang dokter, yang merupakan seorang psikiater. Yup, kami di sini mendapat tugas untuk mewawancarai sang psikiater perihal Psikoterapi kepada pasien gangguan mental. Awalnya, kami disuruh menunggu sebentar karena sang psikiater sedang makan. Lantas, kami menunggu kira-kira sampai jam sepuluh lebih lima menit. Kami pun dipersilahkan masuk ke ruang dokter psikiater tersebut. Sebut saja dokter Maria (nama samaran).
“Ayo mbak, cepet masuk!” seru dokter itu. “Cepet, mau tanya apa? Saya ini keburu-buru, lanjutnya kemudian.
source: www.google.com
Yup, kami sih tidak masalah dengan welcome greeting si dokter ini. Maklum, dokter, spesialis kejiwaan pula, jam terbangnya kan padat, Bro. Kemudian, kami pun mulai mewawancarai dokter tersebut tentang Psikoterapi. Tera pun mengawali percakapan dengan pertanyaan-pertanyaan ringan sedangkan Ulfah bertugas merekam menggunakan ponsel sambil sesekali bertanya. Namun, betapa kecewanya kami, ketika mendengar jawaban-jawaban sang dokter.
“Bu, bagaimana langkah-langkah Psikoterapi yang ibu lakukan kepada pasien?”
“Ya, tergantung gangguannya,” sahut dokter itu dengan nada nyolot. “Kalau sudah diketahui gangguannya, ya kemudian dipsikoterapi sesuai dengan teori yang dipakai. Kalian tahu nggak sih teori Psikoterapi?” Mendengar jawaban dokter yang tidak mengenakkan kuping itu membuat kami langsung tercekat. Ekspresi muka kami pun berubah. Saya, terutama, manusia yang paling nggak suka sama orang yang ditanyain baik-baik tapi jawabnya nyolot, kemudian memilih diam seraya menarik napas dalam-dalam lantas menghembuskannya dalam keheningan hati yang kemropok. Yaelah, bu dokter yang pintarnya cetar membahana, kalau kami tahu langkah psikoterapi kayak gimana, ya kami nggak bakalan susah-susah masukin surat ke rumah sakit sejak November, kemudian digantungin selama berminggu-minggu, buat ketemu sama panjenengan yang lagaknya sudah kayak professor lulusan Harvard. -_-
Tera, yang paling banyak bertanya, sepertinya sudah berhasil menabahkan hati dengan jawaban-jawaban si dokter itu yang rata-rata menyebalkan dan nyolot. Saya, hanya bertanya beberapa kali, dan kemudian laksana headshot mendengar jawaban yang hanya, “Iyalah!” “Ya nggak lah!” “Lha, menurut kalian seperti apa?” “Kalian tahu nggak sih?” saya pun langsung klakep mencep. Diam.
Saat itu saya mikir, mungkinkah ibu ini adalah salah satu contoh nyata dari Teori Behavioristik. Akibat terlalu sering bersinggungan dengan pasien gangguan kepribadian lantas kepribadiannya menjadi sedikit geser pula. Halah.
Setelah ‘puas’ mendengar kekurang-ramah-tamahan si dokter, kami pun keluar dari ruangan dengan perasaan campur aduk. Kecewa, sebal, merasa nggak worth it susah-susah ke sini, sudah berharap terlampau banyak, namun hasilnya jauh di bawah ekspektasi. Sabar, ya.  Kami sabar sih, tapi ya gitu, nggrundel di belakang. Kami saling menumpahkan kekecewaan kami dengan ngrasani si dokter, ghibah. Sudah capek digantung kepastian oleh pihak rumah sakit berminggu-minggu, datang kena tarif lima belas ribu rupiah per kepala, tapi tidak mendapat informasi yang memadai dan sambutan dari si dokter kurang menyenangkan. Usut punya usut, ternyata teman saya di kelompok lain yang sudah lebih dulu bertemu si dokter ini, mengatakan hal serupa seperti yang kami alami terhadap dokter ini. Ya, pada awalnya kami mengira dokter bersikap seperti itu karena terburu-buru saja, namun ternyata dengan yang lain juga bersikap seperti itu. Sabar lagi, ya. :)
Buat kalian, calon dokter, atau psikiater, hendaknya kalian jangan seperti dr. Maria Sp.KJ (nama samaran) ini, ya. Karena dosen saya yang Psikiater rasa-rasanya nggak senyolot itu juga, deh. Ya, mungkin beda, dosen saya psikiater konsultan jadi bisa konseling, memahami orang lain, kalau dokter yang kemarin itu mungkin belum konsultan. Halah.
Akhirnya, karena kami merasa kurang mendapat informasi yang banyak, kami pun memutuskan untuk mengunjungi Biro Psikologi. Berharap di biro nanti bertemu dengan Psikolog yang bersedia menjawab pertanyaan kami. Saat di biro psikologi, Alhamdulillah ibunya sangat welcome, ramah, kami diceritakan kisah-kisah unik saat menangani klien yang bermasalah, kami mendapat banyak informasi, pertanyaan kami dijawab dengan penjelasan panjang lebar, serta yang membuat kami sangat berterima kasih adalah: GRATIS. Semoga Ibu Psikolog baik hati ini senantiasa mendapat lindungan dari Allah dan mendapat rezeki berlimpah. Aamiin.
Itulah tadi sekelumit curhatan saya tentang latihan sabar dan memahami orang lain. Calon Psikolog itu harus sabar menghadapi orang, entah semenyebalkan apapun ia. Sebuah pelajaran berharga ketika bersinggungan dengan lamban dan buruknya sebuah birokrasi dan sebuah tamparan berharga ketika bertemu dengan orang yang amat sangat menyebalkan. Seperti sebuah pengingat bahwa, jangan-jangan dulunya saya juga pernah memperlakukan orang lain seperti itu, berkata nyolot dan sedikit songong, sehingga saya mendapat balasan dengan diperlakukan seperti itu oleh orang lain. 
Well, setiap pengalaman adalah pelajaran yang tidak hanya diamati sambil lalu, namun juga perlu diresapi sebagai tuntunan berperilaku di masa yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar