Selasa, 20 Januari 2015

# Movie

[Movie Review] Java Heat (2013)


source: www.google.com
Halo semua! Jumpa lagi di movie review kedua di tahun 2015 ini. Hehehe. Setelah sebelumnya didahului oleh review film The Sixth Sense, postingan saya kemarin. Ya, di review film kali ini, saya tertarik untuk mereview sebuah film kerjasama antara sineas negeri Paman Sam dengan sineas Indonesia. Yup, seperti judul yang telah saya tuliskan, film tersebut berjudul Java Heat.
Film yang sebagian besar diarahkan oleh sineas Hollywood ini memang memiliki alur yang menarik. Tema yang diangkat cukup menyentil, tentang konspirasi terorisme. Penggunaan efek sinematografi yang berciri khas Hollywood juga turut ditampakkan. Mobil meledak, terjungkir balik, ledakan dengan api kemerahan menjilat-jilat beserta asap hitam jelaga yang membumbung tinggi. Ya, saya seperti sedang menonton adegan film Rambo di mana Sylvester Stallone berjibaku dengan serangkaian efek dramatis tersebut. Halah.
Anyway, saya tidak akan mengomentari efek-efek canggih tersebut. Tentu saja, karena saya sepenuhnya percaya bahwa Hollywood, dengan teknologi perfilman yang sedemikian lebih maju dibanding Indonesia, mampu menghadirkan efek dramatis tanpa takut ditertawakan penonton. Yeah, they've got an A plus! But, saya amat menyayangkan beberapa hal dalam film ini. Sangat. Kenapa? Karena saya menemukan banyak sekali ketidakcocokan logika film ini dengan kenyataan.
Ya, sebelum menceritakan kecacatan logika film, saya ingin sedikit bercerita perihal film ini terlebih dahulu. Java Heat, film yang disutradarai oleh Connor Allyn ini bercerita tentang kasus terorisme. Adegan bermula ketika Letnan Hashim (Ario Bayu) menginterogasi seorang lelaki bule (Kellan Lutz) yang menjadi saksi kejadian pemboman di pesta yang diadakan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada peristiwa itu, putri mahkota Kesultanan Jogja, bernama Sultana (Atiqah Hasiholan), diduga ikut terbunuh. Diduga pelaku pemboman itu dilakukan oleh seorang teroris jihadis yang datang ke pesta dengan menyamar menggunakan pakaian adat Jawa. Teroris dalam film ini digambarkan dengan menggunakan atribut-atribut Muslim seperti, kopiah, baju koko, dan jenggot panjang.
Anyway, saya tidak suka dengan pendiskreditan sineas Hollywood terhadap citra orang berkopiah dan berbaju koko dengan sebutan teroris. Sejak di awal film sebenarnya film ini terlihat sedikit menyebalkan karena selalu menggambarkan citra Muslim dengan buruk. Sebenarnya, saya mencoba sedikit berpositif thinking, namun semakin mengikuti alur cerita malah semakin terasa menyebalkan. Ini adalah kesalahan pertama dan sangat fatal bagi Connor Allyn dalam membuat filmnya. You've done bad, Mr. Allyn! :)
Selanjutnya, kesalahan kedua adalah dalam menggambarkan perilaku seorang wanita Jawa apalagi yang berhijab, saya sepenuhnya tidak setuju. Ada sebuah adegan ketika istri Letnan Hashim menjenguk suaminya yang harus berada di rumah sakit karena kecelakaan saat mengantar si bule–yang selanjutnya dipanggil Jake. Istri Letnan Hashim ini adalah seorang wanita Jawa yang juga mengenakan hijab. Sang istri mengucapkan terima kasih kepada Jake dengan menjabat tangan kemudian cipika-cipiki. Ketika melihat adegan ini, rasanya saya ingin berseru di depan si Allyn:
"Hellow, are you out of your mind, dude Allyn?!"
Menurut saya adegan itu agak sedikit konyol nan absurd. Bagaimana tidak, seorang wanita berhijab dan diceritakan dari suku Jawa itu berani-beraninya bercipika-cipiki dengan bule yang tentu saja saudara bukan, suami bukan. Kalau orang Jawa bilang, tindakan seperti itu 'ora elok', ora apik. Nggak bagus. Tidak sesuai norma budaya dan agama. Ini adalah kecacatan logika yang sempat membuat alis saya naik sebelah dan mulut saya tersenyum sinis. Pffft…
Selanjutnya, masih ada kecacatan logika lainnya. Saya merasa aneh dengan penggambaran perilaku orang-orang Keraton Jogja. Saya tidak paham anehnya di mana, namun rasa-rasanya sangat ganjil. Ada sesuatu yang salah dan cenderung dipaksakan. Saya merasa bahwa unsur Keraton yang pada dasarnya kental akan nuansa Jawa itu hilang, entah tersembunyi di mana.
Selain itu, ada kesalahan logika yang lain, ketika Jake mendatangi tempat prostitusi untuk mencari wanita bertato macan. Jake menuju ke sana dengan menaiki bajaj, Man! Hahaha. Di Jogja ada bajaj? Adanya becak, keleeuus. Ini lebih membuat ngakak, karena bajaj hanya ada di Jakarta, sedangkan di Jogja hanya ada becak. Hahaha. Lantas, satu lagi yang membuat saya merasa aneh. Setting diskotik tempat prostitusi itu cenderung bernuanasa diskotik ala Chinatown US. Saya tidak begitu tahu, sih, di Chinatown US sana ada diskotik atau tidak. Terlalu modern diskotiknya. Padahal, tahu sendiri, jika kalian suka nonton film-film Indonesia yang ambil setting diskotik, pasti nuansa diskotiknya masih ada ndeso-ndeso-nya. Kecuali di Bali, kayaknya. Hehehe. Untuk urusan diskotik, saya sebenarnya tidak terlalu paham karena belum pernah dan tidak mau masuk ke diskotik yang beneran. Halah.
Kemudian, untuk keanehan yang kesekian–entah keberapa, saya sudah malas menghitung–ketika si Jake dibawa pulang oleh orang-orang Amerika yang katanya anggota Angkatan Laut US. Ketika mereka menaiki mobil hendak menuju airport, mereka melewati persawahan–yang tampak seperti di tengah desa pedalaman–sepanjang perjalanan. Namun, tiba-tiba muncul sebuah plang absurd bertuliskan 'Airport' beserta arah panahnya. Hahaha. Itu bule mau dibawa ke airport mana coba? Perasaan kalau mau ke Adisucipto dari Jogja lewatnya jalan raya yang lumayan rame plus deretan rumah dan pertokoan. Ini salah satu hal yang juga bikin saya mengangkat sebelah alis, mengerutkan dahi, kemudian terkekeh-kekeh.
Oiya, ada satu hal lagi yang menjengkelkan dan terasa mendidihkan darah, ketika seruan 'Allahu Akbar' diteriakkan lantang oleh seorang Muslim ketika ia berusaha menekan pemicu bom untuk meledakkan dirinya. Hal tersebut menurut saya adalah semacam penghinaan untuk Muslim dan citra Islam sendiri. Seolah-olah tindakan bom bunuh diri dengan menyebut nama Allah itu adalah ajaran Islam. Padahal Islam melarang bunuh diri. Saya tidak mengerti mengapa si Connor Allyn ini rasa-rasanya teramat semena-mena dengan memasukkan hal-hal yang lumayan SARA. Film ini terlampau menyuguhkan konten sensitif penuh SARA dan agak kurang ajar menurut saya.
Bukan karena saya seorang Jawa dan Muslim kemudian saya jadi sebal dengan ulah Hollywood mendiskreditkan atribut yang melekat pada saya tersebut. Saya sebal karena mereka sudah semena-mena dalam menyuguhkan konten film. Kurang riset! Sudah pasti! Padahal, untuk film sekelas Hollywood, sineas film biasanya akan melakukan riset mendalam sebelum merepresentasikannya dalam gambar visual. Saya berani bertaruh, film ini hanya masuk di kategori B beserta jajaran film horor US yang gagal masuk box office. Bahkan dalam Rotten Tomatoes pun tidak menuai apresiasi positif. Hanya memperoleh rating 5% saja, kalau tidak salah. Saya betul-betul sangat menyayangkan aktris dan aktor sekelas Ario Bayu, Atiqah Hasiholan, dan Rio Dewanto harus bermain dalam film seperti ini. Mengingat mereka adalah para aktor dan aktris yang bagus. Hiks.
Overall, film ini sangat gagal menurut saya. Baru kali ini saya mereview film dengan menampilkan banyak keburukan dan kesalahan logika. Biasanya, saya suka mereview film-film yang bagus dan pantas untuk diapresiasi. Mungkin film ini saking penuh cacat logikanya sampai tangan saya gatal-gatal ingin segera mengetik reviewnya. Hehehe.
Oh iya, ada satu lagi yang terlewat, ketika bagian ending film itu Jake menyalami Sultana seraya berkata:
"Katanya, mencium bibir di muka umum itu tidak sopan kalau di negaramu."
Lalu Sultana pun menimpali, "tidak juga,” seraya tersenyum manis.
Salah satu #KrikMoment yang membuat lidah saya sedikit kelu. So sorry, buat Atiqah Hasiholan, karakter Sultana yang Anda perankan kurang priyayi. Kurang dapat mencerminkan seorang putri keraton Jawa yang njawani dan terkesan kalem. Ini mungkin karena skrip naskah yang dibuat orang Hollywood itu kurang pas, sehingga Atiqah hanya manut sama naskah. Hehehe.
Okay, sekian movie review saya kali ini. See ya to the next movie review! :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar