Jumat, 09 Januari 2015

# DI9NITY # Experience

DI9NITY Goes to Desa Tingal, Borobudur


Tak terasa seminggu berlalu sejak momen pergantian tahun 2014 menuju 2015 menggempita di langit dunia. Namun, saya masih menyimpan momen yang sayang hanya luput begitu saja tanpa diceritakan. Momen yang terlalu keren untuk sekadar disimpan dalam ingatan semata. Ya, November 2014 lalu, tepatnya tanggal 15 - 16, angkatan 2012 Psikologi Universitas Sebelas Maret mengadakan fieldtrip ke Desa Tingal, Borobudur, Magelang. Sebenarnya, tidak semua anak mengikuti fieldtrip, hanya mereka yang mengambil mata kuliah Psikologi Lintas Budaya saja. Yup, jalan-jalan satu angkatan kali ini disponsori oleh mata kuliah Psikologi Lintas Budaya. Hehehe.
Wisata kali ini sungguh berbeda. Kami mendapatkan pengetahuan dan pengalaman luar biasa banyaknya. Serasa oase menyegarkan di tengah penatnya tugas akhir tahun yang senantiasa menghimpit paru-paru. Banyak dari kami yang menggunakan kesempatan traveling bareng ini sebagai sarana refreshing tanpa pusing memikirkan tugas, meskipun tetap saja dosen memberikan guideline (panduan) kuliah selama satu malam dua hari di Borobudur. Ya, bukan murni wisata, namun wisata karena kuliah lapangan. Meskipun begitu, lumayanlah daripada kami harus duduk mendengarkan teori sampai jengah. Rasanya, kuliah kali ini menawarkan rasa baru yang dapat memunculkan insights baru dalam memahami hal-hal yang terjadi di luar konteks teoritikal semata.
Yup, petualangan DI9NITY–nama angkatan kami–dimulai pada Sabtu 15 November 2014 pukul 06.00 WIB. Pagi itu, kami berkumpul di kampus menunggu bus yang akan mengangkut kami berkelana ke Magelang. And you know what? Sehari sebelumnya saya sakit demam akibat cuaca yang akhir-akhir itu kurang bersahabat. Gejala flu, panas, dan tenggorokan sakit. Saya sampai putus asa tidak akan bisa ikut fieldtrip saat itu. Namun, syukur Alhamdulillah, Sabtu pagi itu badan saya sudah sedikit mendingan meskipun mulut masih terasa susah mencecap makanan. Pagi itu saya diantar ibu ke kampus lantas bergabung dengan beberapa gelintir kepala yang sudah datang lebih awal daripada saya. 

Setelah semua anggota lengkap, masing-masing mulai mengangkut barang bawaannya ke dalam bus lantas berebut tempat duduk. Saya duduk di baris kedua, sendirian. Karena saat itu saya masih lemas, sedang tidak mood ngobrol dengan siapapun. Lumayan, bayar satu kursi tapi dapat double. Hahaha.
Tiga jam menyusuri jalanan Solo-Yogyakarta, melewati Klaten, Yogyakarta, lalu Magelang kota, akhirnya sampailah di destinasi, Desa Tingal, tepatnya di Griya Rik-Rok. Yup, di tempat ini kami makan siang lalu shalat Dhuhur di masjid yang berjarak sekitar 100 meter, sembari menikmati udara segar dataran tinggi dan hijaunya sawah.
Setelah itu kami bersama-sama berangkat ke Borobudur. Sampai di sana, ada insiden kecil, perut Tera sakit akibat dismenorhea. Yup, nyeri datang bulan yang selalu menyerang di hari pertama. Akhirnya, kami terpaksa masuk belakangan karena menunggu Sheilla dan Okta kembali membawa suplemen pelancar haid. Halah. Saya menggandeng Tera, saat itu kami merasa seperti pasien rawat jalan. Yang digandeng tertatih-tatih menahan nyeri perut, yang menggandeng juga lagi lemes habis demam. Hahaha. Lucu sekali. Kami berdua pun selalu jalan di baris paling belakang karena kondisi badan kami yang sama-sama kurang fit saat itu. Ditambah lagi saat itu cuaca amatlah mendung, angin dingin berembus menggigilkan kulit.
Relief Borobudur
Kami menaiki tingkat demi tingkat candi sambil mendengarkan penjelasan dari tour guide. Berkeliling melihat relief-relief yang sudah tidak utuh lagi. Sebagian dari kami ada yang semangat berfoto dan berselfie meskipun lambat laun awan cumulonimbus tersublimasi menjadi bulir-bulir gerimis. Saat itu Borobudur sangat padat, tidak hanya kami saja, pelajar SMA sampai rombongan wisata karyawan pun ada di sana. Di tengah gerimis yang semakin merapat itu, masing-masing pengunjung mulai mengembangkan payungnya, semakin menambah sempit pelataran candi. Payung-payung pengunjung saling berjibaku berebut tempat ketika kami berusaha perlahan-lahan menaiki tapak demi tapak tangga menuju tingkat berikutnya. Semakin ke atas, semakin lebar, kami semakin leluasa bergerak sembari masih memasang telinga lebar-lebar mendengarkan penjelasan sang tour guide. Setelah sekian lama di atas candi, kami pun bergegas turun bersamaan dengan hujan yang sebentar-sebentar gerimis, sebentar-sebentar reda.
Hari semakin sore dan kami pun bergegas ke penginapan. Penginapan hanya berjarak lima menit dari candi Borobudur jika ditempuh dengan bus. Sesampai di penginapan, kami bergegas sholat Ashar dan membersihkan diri. Kami memiliki lumayan banyak waktu luang antara Ashar sampai Maghrib, maka kami menyempatkan bermain truth or truth. Oh iya, anyway, saya dan sebelas teman saya yang lain menempati kamar yang tidak terlalu jauh dari kamar mandi. Bisa dibayangkan, satu kamar berisi duabelas orang kemudian bermain truth or truth yang bisa dipastikan permainan ini mengundang gelak tawa dan kehebohan. Betapa berisik dan ramenya kamar kami. Para manusia-manusia berisik itu antara lain; saya, Rizky, Rizki, Tera, Meinar, Vinna, Lia, Irfa, Nisa, Suci, ditambah lagi dengan suara Okta yang menggelegar hingga ke pojok koridor penginapan. Hahaha. Yang berani bermain truth or truth siap dilucuti bulat-bulat semua rahasianya. Makanya, saat itu saya hanya berani menjadi penonton dan penggembira seraya terpingkal-pingkal. Terang saja, truth or truth kali itu mengangkat tema CRUSH dan hal-hal sejenis itu. Matilah kalau sampai kartu truf saya kebuka. Hahaha.
Setelah puas terpingkal-pingkal, adzan Maghrib pun berkumandang, seluruh penghuni kamar berjamaah melakukan sholat Maghrib di kamar. Setelah itu, kami bersiap-siap ke Griya Rik-Rok untuk makan malam dan menonton kesenian Jathilan. Jarak antara penginapan dan Griya Rik-Rok lumayan jauh, sekitar satu kilometer. Yup, kami tidak naik bus dan tidak pula jalan kaki, tapi naik sepeda onthel. Senang? Tentu saja! Di antara temaram lampu pedesaan, kami bersepeda beriringan. Gelap memang, bahkan jika sendirian akan terasa mencekam. Namun, karena kami rame-rame tentu saja lain ceritanya. Meskipun kami juga sempat melewati areal pemakaman. Hahaha.
Anyway, sepeda yang kami gunakan berbeda dari sepeda kayuh pada umumnya. Sepeda ini lebih mirip sepeda onthel jaman dahulu yang memiliki bodi besar, berat, dan terlalu tinggi. Kaki saya yang biasanya langsung bisa menyentuh tanah ketika sudah duduk di atas sepeda biasa, harus berjingkat dan sangat kesusahan menapakkan kaki ke tanah untuk menjaga keseimbangan di sepeda ini. Sepedanya tinggi sekali!
Sesampai di Griya Rik-Rok kami pun mulai menyantap makan malam, kemudian kami berkumpul di halaman samping Griya Rik-Rok. Di sana sudah berjajar kursi-kursi plastik untuk pengunjung, seperangkat gamelan beserta pemainnya, dan para seniman-seniwati yang akan menampilkan tari Jathilan. Kami menonton pertunjunkan itu dengan menyantap gorengan dan minum susu kedelai hangat. Jathilan adalah semacam tarian mirip seperti kuda lumping. Tarian ini memiliki gerakan yang sangat sederhana dan cenderung repetisi (berulang-ulang). Menurut sepengamatan saya, tarian ini berkisah tentang dua raja yang awalnya memiliki hubungan baik-baik saja namun kemudian mereka berperang untuk memperebutkan tahta. Penari yang memakai pakaian seperti raja tersebut saling beradu pedang kemudian ada salah satu dari mereka terjengkang ke belakang. Setelah berulang kali terjengkang, salah satu raja tersebut tiba-tiba tidak mampu berdiri. Kru seniman tersebut mulai membantu raja itu berdiri, dan saat itu kami pun melihat sang raja dalam keadaan trance. Itu artinya ia sedang dirasuki roh halus. Ya, memang dalam kesenian ini terdapat beberapa ritual yang digunakan untuk memanggil roh halus dan memasukkannya ke dalam raga beberapa penari.
Kami ternganga dan terpana, bahkan sedikit takut. Tidak hanya satu penari, ada salah seorang penari lainnya yang menggunakan kuda lumping juga turut dirasuki. Ia mulai menari asal-asalan mengikuti alunan gamelan. Aura mistis mencekam, membuat saya sedikit bergidik ngeri. Bahkan gerakan penari tersebut menjadi tidak beraturan dan berulang kali menuju bangku penonton. Kami–yang mayoritas cewek–lari terbirit-birit karena ketakutan. Namun, tetap saja kami penasaran dan kembali menempati bangku penonton untuk menonton kelanjutan pertunjukan.
Malam pun kian larut, mata kami sudah mulai memburam, tanda ingin segera rebah di kasur. Beberapa dari kami mulai meninggalkan halaman, menaiki sepeda menuju penginapan, kembali melewati jalanan pedesaan yang minim penerangan. Kami bersepeda secara berkelompok, berulang kali berseru memanggil beberapa kawan yang telah mengayuh jauh, meminta ditunggu. Jalanan desa yang minim penerangan membuat kita harus melebarkan mata menyesuaikan pandangan laksana makhluk nocturnal. Tidak berapa lama, kami tiba di penginapan lantas buru-buru menuju kamar untuk segera merebahkan badan. Ya, kami harus istirahat cukup, karena esok harinya aktivitas fisik kami kembali ekstra dibutuhkan.
Suara berisik seseorang turun dari ranjang dan membuka pintu kamar membangunkan saya pagi itu. Sekira pukul 03.45 beberapa dari kami mulai lalu lalang ke kamar mandi, mengambil air wudhu, bersiap-siap sholat Shubuh. Pagi itu, kami harus bangun pagi-pagi sekali untuk bersiap-siap ke Puthuk Setumbu. Puthuk Setumbu adalah perbukitan yang katanya di sana kami dapat melihat sunrise dengan syahdunya. Halah. Berbekal semangat untuk melihat sunrise yang tentu saja jarang kami lihat di tengah kota, kami mulai bersiap-siap membawa beberapa peralatan ‘mendaki’ bukit Puthuk Setumbu. Kami dibagi menjadi dua kloter untuk menaiki kereta kelinci menuju lokasi. Lumayan jauh, sekira 2 – 3 km kalau tidak salah. Sesampai di sana samar-samar langit mulai terlihat membiru, tanda kalau matahari sudah mulai terbit. Kami harus berjalan menaiki tanjakan curam yang membuat napas tersengal-sengal dan kaki gemetar sebelum sampai pintu masuk Puthuk Setumbu. Belum sampai pintu masuk saja sudah lemas kaki kami, napas kami sudah tinggal sisa-sisa. Ketika kami sudah sampai di pintu gerbang Puthuk Setumbu, kami masih harus naik undakan batu yang licin dan penuh tanah lengket. Sepatu-sepatu kami semakin terasa memberat seiring dengan tebalnya tumpukan tanah yang menempel. Berjalan menaiki tanjakan yang terasa amat jauh dan berat membuat saya kehabisan napas dan kaki saya pegal-pegal. Beserta letupan semangat yang dilontarkan teman-teman saya dan paksaan yang muncul dari dalam diri saya, akhirnya saya tiba ke puncak bukit Puthuk Setumbu tersebut. Setelah sebelumnya harus tergopoh-gopoh menahan nyeri kaki, napas yang memburu dan jatuh bangun berulangkali (dramatis sekali, hahaha).
Sunrise yang gagal. Btw, ini kepala siapa kena jepret haha XD
Lega dan senang membuncah ketika kami bisa sampai di puncak bukit. Saya berusaha memulihkan tenaga saya dengan duduk sejenak seraya menghirup napas banyak-banyak dan meminum beberapa teguk air mineral. Di sana sudah banyak para wisatawan baik lokal maupun mancanegara yang juga bersama-sama menunggu datangnya semburat jingga di ufuk timur. Ketika langit berangsur terang, tampak di timur kejauhan pendar-pendar cahaya kuning keemasan muncul melalui celah-celah mega. Ya, saat itu langit sedang sedikit mendung. Sayang sekali, pendar jingga sang surya harus tertutupi dengan awan kelabu. Beberapa wisatawan kecewa, kamipun juga. Cuaca memang faktor yang sangat sulit diprediksi kedatangannya akhir-akhir ini.
Setelah tenaga kami pulih dan merasa sanggup untuk menuruni bukit, kami pun bergegas menyusuri turunan tajam dan licin tersebut untuk kembali pulang ke penginapan. Setelah wisata melihat sunrise yang gagal tersebut, kami segera membersihkan diri, lantas melanjutkan wisata mengelilingi industri kerajinan rumahan di kawasan desa Tingal.
Ciee Firda ciee :D
Usai mandi dan sarapan, kami mengambil sepeda onthel sewaan bersiap-siap untuk bersepeda keliling desa Tingal. Sebanyak 72 mahasiswa dibagi menjadi tiga kelompok. Saya berada di kelompok dua. Destinasi kunjungan kami pertama adalah industri batik rumahan milik Ibu Lusi. Di sana, kami diberi kesempatan belajar membatik dengan pola sederhana menggunakan canting dan lilin yang telah dilelehkan. Pengalaman membatik ini mengingatkan masa SMP saya ketika diberi tugas guru seni rupa untuk membuat batik. Yah, meskipun sebelumnya saya sudah pernah membatik, tetap saja hasil goresan lilin cair saya jelek, tebal-tipis, dan banyak lilin yang tercecer di mana-mana. Okay, saya memang tidak begitu berbakat dalam hal kerajinan tangan. Hiks.
Setelah puas bermain dengan canting dan lilin cair panas, kami pun berpindah ke destinasi industri rumahan selanjutnya. Tidak terlalu jauh dari rumah Ibu Lusi, kami menuju ke industri rengginang rumahan. Rengginang adalah makanan yang terbuat dari ketan yang dikeringkan dan digoreng sehingga menjadi renyah seperti kerupuk. Ya, di sana kami belajar mencoba-coba membuat rengginang. Seru dan menyenangkan. Tangan kami bergantian mencoba mengambil beras ketan panas yang baru saja diangkat dari kompor, kemudian mulai memasukkannya pada cetakan, dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai rengginang. Tangan kami kurang mahir sehingga rengginang tidak terbentuk dengan cantik. Banyak beras ketan yang masih menempel di alat cetakan karena kami lupa melumuri cetakan dengan air. Hahaha.
Pemandangan sepanjang perjalanan ke tempat gerabah
Selanjutnya, setelah kami puas bermain-main dengan cetakan rengginang dan membeli beberapa bungkus rengginang sebagai buah tangan, kami pun mulai bersepeda menyusuri persawahan menuju ke industri gerabah. Ya, perjalanan kali ini sangat jauh dibandingkan perjalanan ke industri-industri rumahan sebelumnya. Kami melewati tanjakan dan turunan curam, persawahan yang membentang sejauh mata memandang, serta melewati sungai. Menghirup udara bersih pedesaan, merasakan belaian angin di setiap inchi kulit, memanjakan mata dengan bentangan sawah hijau di sepanjang jalan, membuat kami sangat menikmati perjalanan tersebut. Meskipun peluh membasah serta badan dan kaki pegal karena medan yang penuh tanjakan dan turunan curam, namun kami tetap merasa senang dan gembira. Setelah sekitar 15 menit bersepeda, sampailah kami di industri gerabah rumahan.
The Cup of Love. Pardon my silly face XD
Di sana, kami secara bergantian mulai membuat gerabah dengan bermacam-macam bentuk sesuai dengan keinginan. Dengan didampingi bapak perajin, pertama-tama saya harus melumuri tangan dengan air yang telah disediakan. Bapak perajin mengambil segenggam tanah liat, lantas meletakkannya di atas meja putar dan memercikinya dengan air. Bapak itu mulai membuat ceruk di tengah gundukan tanah liat itu. Ketika gundukan tanah liat berangsur-angsur berbentuk seperti gerabah, saya mulai membentuk sisi luar dari gerabah tersebut. Oh iya, anyway, saya merequest bentuk cangkir berbentuk hati. Setelah cangkir sudah terbentuk sesuai keinginan, saya menuliskan nama saya di sisi luar cangkir tersebut. Pengalaman pertama membuat gerabah sangat menyenangkan!
Setelah puas bermain-main dengan tanah liat, kami bersiap menuju ke destinasi terakhir yaitu tempat pembuatan pensil gaul. Ya, pensil gaul ini adalah semacam pensil kayu yang di bagian atasnya diberi hiasan boneka. Kembali menyusuri turunan dan tanjakan curam, kami bersepeda menuju Griya Rik-Rok. Tempat pembuatan pensil gaul tersebut memang terletak di Griya Rik-Rok sendiri. Kami diberikan seperangkat pensil yang sudah dipasangi bulatan putih di atasnya, kain perca, tali warna-warni, topi, dan rambut boneka. Setelah sebelumnya diberi contoh bagaimana cara membuatnya, kami mulai menghias pensil tersebut sesuai dengan kreativitas masing-masing. Ada yang menghias boneka dengan menggunakan jilbab, ada yang dikuncir kuda, ada yang dikepang, dan lain-lain. Setelah puas bermain dan berkreasi menghias pensil kayu, kami pun segera menyantap makanan yang telah disediakan di Griya Rik-Rok tersebut.
Gerimis perlahan mulai turun membasahi tanah gembur desa Tingal. Beberapa dari kami yang lupa tidak membawa payung dan jas hujan karena tertinggal di penginapan harus menunggu sampai hujan reda. Namun nyatanya hujan tak kunjung reda, bahkan mulai menderas. Ketika hujan mulai berangsur-angsur reda, kami pun cepat-cepat mengayuh sepeda kembali ke penginapan, meskipun baju kami tetap saja basah karena bulir-bulir gerimis yang masih merapat.
Sesampai di penginapan, kami mulai mengemasi barang-barang kami dan bersiap-siap untuk check out dari kamar. Tepat setelah Ashar, kami pun melaju meninggalkan desa Tingal untuk kembali ke Solo. Awan kelabu masih tampak menggantung di cakrawala sore itu, hujan berangsur-angsur kembali menderas hebat. Tepat pukul 20.30, kami tiba di Solo lalu bergegas kembali menuju rumah dan kos-kosan masing-masing. 
Say Cheese, DI9NITY!
Sebelum naik ke Borobudur, selfie dulu :D
Selfie lagi di Puthuk Setumbu :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar