Selasa, 08 Desember 2015

# Experience # Renungan

TEDx UNS: Symphony of Ideas


Lama sekali rasanya saya tidak pernah posting tentang event atau seminar yang saya ikuti. Sebenarnya saya ingin cerita tentang bedah buku Lautan Langit-nya Mas Kurniawan Gunadi Oktober lalu. Tapi, akibat terlampau capek setelah seharian bolak-balik kemana-mana, alhasil pun jadi lupa. Hehehe. Yup, lantas akhirnya ada sebuah event yang mau tak mau harus saya tuliskan untuk mengabadikan. Maklum lah, saya memang agak pelupa. Hehehe. Yup, seperti judulnya, event yang saya ikuti ini adalah TEDx. Bagi yang belum tahu, TEDx adalah event TED yang dibikin secara independen. TEDx di sini bukan terinspirasi dari film TED yang dibintangi Mark Wahlberg itu, malah lebih dulu ada sebelum film TED rilis. Atau jangan-jangan, film TED itu terinspirasi dari TED ini. Halah. Saya juga sebenarnya tidak tahu, sih. Hehehe. Nah, mungkin bagi yang ingin tahu lebih jelas dan lengkap bisa kunjungi ini.
Ahad, 6 Desember 2015 lalu acara TEDx diselenggarakan di aula FH UNS. Acara TEDx ini sebenarnya memiliki konten yang hampir serupa dengan seminar pada umumnya. Akan tetapi, kemasan yang ditampilkan memang agak sedikit berbeda. Tidak hanya itu pula, pembicaranya pun tidak dibatasi tema tertentu seperti seminar-seminar pada umumnya. Pun, TEDx ini 100% free, tanpa dipungut biaya asal bisa lolos seleksi call for audience. Hehe. Entahlah, setelah sebelumnya saya iseng mendaftar TEDx, beberapa hari kemudian nama saya pun tiba-tiba ada dalam list audience TEDx. Wah, lumayan. Saya bisa memuaskan rasa penasaran saya yang sebelumnya tidak tahu apapun mengenai TEDx.
Dalam TEDx ini mengusung tema Symphony of Ideas, di mana sejumlah pembicara dihadirkan sebagai penyebar ide-ide pembaharuan. Jadi, pembicara yang dihadirkan bukan orang sembarangan. Mereka adalah para agent of change di bidang dan lingkungannya masing-masing. Ada sekitar delapan pembicara yang mengisi TEDx, masing-masing memiliki waktu cukup singkat saat memperkenalkan gagasan-gagasan mereka. Acara ini dibagi dua sesi. Sesi pertama terasa lebih panjang karena ada lima pembicara, meskipun waktunya singkat sekali. Sesi kedua yang dibuka setelah ishoma, diisi oleh tiga pembicara.
Empat dari delapan pembicara TEDx tersebut meninggalkan kesan yang mendalam bagi diri saya pribadi. Kesan yang mereka timbulkan tersebut mungkin lebih dikarenakan konten yang mereka usung lumayan related pada diri saya. Salah satu yang paling nempel adalah gagasan Komunitas Baca Dua Lima yang digagas oleh Mas Syukri. Iya, saya sudah lama tahu beliau dan saya juga sudah tahu Komunitas Baca Dua Lima itu apa. Tentu saja, karena teman-teman saya yang anak Kedokteran, secara bersamaan memasang twibbon di display picture sosial medianya yang berisi opini setelah mengikuti gerakan baca buku dua puluh lima halaman per hari. Sesuai namanya, Komunitas Baca Dua Lima adalah gerakan yang digagas beliau untuk mengajak masyarakat supaya mau meluangkan waktunya dalam sehari untuk membaca buku minimal dua puluh lima halaman. Ini adalah sebuah gerakan yang sangat keren, menurut saya. Gerakan ini berangkat dari suatu fenomena budaya membaca masyarakat Indonesia yang sangat rendah sekali. Nggak usah gede-gede selingkup Indonesia, deh, selingkup Solo saja budaya membacanya masih cetek. Gagasan tersebut merupakan sebuah angin segar tersendiri dalam menghadapi fenomena semacam itu. Sangat berguna menghidupkan kembali budaya membaca buku yang sudah hampir tergerus oleh semakin merajalelanya teknologi dan internet penyedia segala bentuk kemudahan.
Tersihir, saya merasa sangat related dan serta merta menyetujui data dan fakta yang dipaparkan. Saya juga punya impian sama, membudayakan membaca. Sebagai pembaca buku minded, saya memang getol sekali untuk menyerukan wajib baca buku dalam seminggu. Bahkan, semenjak kuliah, saya mulai lebih getol lagi menjejali diri dengan berbagai macam genre buku. Tidak terbatas pada fiksi, namun juga nonfiksi. Lalu akhir-akhir ini pun saya malah sering kecantol dengan buku nonfiksi yang international best-seller. Hehehe.
Yup, pada intinya membaca adalah sebuah kebiasaan (habits). Supaya gemar membaca kian membudaya, maka kebiasaan membaca perlu dimulai dari diri sendiri serta mulai dari sekarang. Bagi para orang tua muda, perlu sekali menanamkan kebiasaan membaca pada anak-anaknya sejak kecil. Indonesia yang sebagian besar masyarakatnya adalah Muslim tentu perlu sekali untuk membudayakan membaca sedari belia. Lagipula, wahyu pertama yang diberikan Allah kepada Rasulullah melalui perantara malaikat Jibril adalah Surat Al-‘Alaq, di mana kata pertama pada ayat pertamanya berbunyi Iqra’–Bacalah! Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu. Jadi, membaca itu sudah seperti kewajiban, bukan?
Pembicara kedua yang membuat saya terjerat lagi adalah Pak Eri Koeswoyo. Beliau adalah founder dari Dompet Dhuafa, seorang social entrepreneur yang keren, menurut saya. Pemaparan tentang kondisi Indonesia saat ini beserta quotes keren yang terselip dalam setiap kalimat yang terlontar dari beliau tersebut sukses mencuri sebagian besar fokus saya. Tema yang beliau bicarakan berkisar tentang pendidikan karakter. Masalah terbesar bagi Indonesia adalah kurangnya karakter jujur dan disiplin. Banyak sih, orang jujur di Indonesia, namun orang yang amanah masih sedikit. Pemimpin yang tidak amanah saja masih banyak. Lalu, ada satu quotes agak nge-jleb yang beliau paparkan:
“Sebuah negara yang belum disiplin, jangan bercita-cita menjadi negara maju.”
Ya, sebelum mendisiplinkan orang lain, mulailah budaya disiplin itu dari sendiri. Mulai dari yang terkecil saja, deh, misal berangkat kuliah jangan sampai lebih lambat dari dosen. Perkara si dosen datang terlambat tidak perlu diurusin, malah bagusnya jangan dicontoh. Kita kan mahasiswa, sudah pandai membedakan mana yang baik dan mana yang baruk. Masa hanya datang kuliah saja telat? Juga, jangan lupa, kalau janjian ketemuan dengan teman, entah hanya hangout atau ada agenda rapat, usahakan datang tepat waktu. Sesungguhnya, ketika kalian datang tepat waktu, kalian sudah menghargai diri sendiri. Namun, apabila kalian datang terlambat, tidak disiplin waktu, kalian sedang merugikan orang lain karena telah dengan semena-mena membuang-buang waktu mereka. Padahal, jika tidak menunggu kalian yang hobi terlambat, waktu tersebut bisa mereka manfaatkan untuk melakukan hal yang lebih produktif, bukan?
Pembicara selanjutnya yang menurut saya keren adalah Ibu Endah Laras. Mungkin, kalangan seniman sudah banyak yang mengenal beliau ini, tapi masih banyak orang yang belum mengenal beliau. Ya, Ibu Endah ini adalah seorang seniman yang sangat multitalenta. Pengalaman berkesenian sejak SMP telah membawanya pergi menjelajah negara-negara Eropa dan Asia dalam rangka memperkenalkan kebudayaan Indonesia. Saya sempat terkesima dengan kepiawaian beliau dalam menyanyikan berbagai genre lagu khas Indonesia. Mulai dari tembang Macapat Jawa, lagu Sunda dengan cengkok khas sinden Sunda, lagu Banyuwangi yang khas dengan falsetto ala lagu Jawa Timur-an, sampai campursari pun bisa dibawakannya dengan apik. Suaranya yang bening serta mampu menjangkau nada-nada tinggi membuat telinga saya serasa dimanjakan. Sampai ketika Ibu Endah selesai bercerita sambil menyanyi semua hadirin bertepuk tangan riuh, seolah menyatakan sangat puas dengan penampilan Ibu Endah yang menghibur sekaligus inspiratif.
Pembicara berikutnya yang membuat saya terbawa juga adalah Bapak Suyudi. Beliau adalah founder Sekolah Alam Bengawan Solo (SABS). Ya, SABS ini semacam antimainstream di antara pendidikan formal mainstream lainnya. Sebagaimana namanya, sekolah alam ini berfokus dengan metode pembelajaran dan pendidikan back to nature. Tidak melulu hanya berkutat pada teori-teori, namun sekolah ini mengajak siswa untuk mengeksplorasi dunia sekitarnya sambil belajar. Jadi, sekolah menjadi tidak membosankan, malah terasa lebih menyenangkan. Meskipun sebenarnya mereka sedang belajar, namun mereka melakukannya seperti bermain.
Pada dasarnya, pendidikan itu bukan melulu harus hapalan teori lalu kemudian diujikan di Ujian Tengah Semester atau Ujian Akhir Sekolah saja, lantas ketika ujian usai, ilmu yang susah payah dihafalkan pun hilang terlupakan, tak berbekas. Inilah salah satu problem bagi sebagian besar pelajar di Indonesia. Pendidikan saat ini memang hanya menitikberatkan pada menghafal data dan fakta informasi saja, tanpa dibarengi dengan pendidikan karakter serta pembelajaran yang menuntut analisis dan sintesis. Padahal, pandai itu bukan hanya bisa hafalan saja, pandai itu juga harus bisa menganalisis masalah serta mencari solusi terbaiknya. Kalau kata Bapak Suyudi, sih:
“Manusia diharapkan tumbuh untuk berpikir dan memikirkan sekitarnya.”
Sayangnya, kurikulum Indonesia masih sedikit mewajibkan anak didiknya untuk bisa berpikir analitis. Hasil tes PISA yang memasukkan Indonesia dalam kategori nilai paling rendah membuktikan bahwa kemampuan menganalisis soal siswa Indonesia jauh di bawah rata-rata siswa di negara lainnya. Ya, salah satu indikator dalam tes PISA yaitu kemampuan berpikir analisis memberikan nilai rendah bagi siswa Indonesia. Sedih, kan?
Tentang kemampuan analisis ini, saya pun jadi teringat celoteh dosen saya yang gemar sekali memberi tugas membuat esai dan paper tentang suatu masalah. Beliau mengatakan bahwa, sebagian besar analisis pada tulisan kami tersebut sangat kurang. Ya, saya pun mengakui bahwa kami terlalu terjebak pada sistem pendidikan hafalan sejak SD hingga SMA. Kami sudah terbiasa menghafal serta menjawab pertanyaan berdasarkan memori hafalan
Coba contoh Finlandia, yang mewajibkan siswanya untuk membaca minimal 300 halaman buku per-tahun. Indonesia, masih nol halaman per-tahun. Padahal, membaca buku itu juga salah satu cara untuk bisa mengasah daya berpikir kritis, analitis, dan sintesis. Jadi, sebenarnya banyak sekali, lho, permasalahan yang terjadi serta menuntut untuk segera diperbaiki. Semua faktornya hampir saling berkesinambungan satu sama lain. Mungkin, memang saatnya kita, para pemuda-pemudi Indonesia, menjadi agen perubahan dalam mengurai problema negara yang masih saling sengkarut ini.
Selain menghadirkan berbagai kalanganpembicara, acara ini juga memutar beberapa video TED talks dari negara lain. Salah satu yang paling berkesan adalah video TED talks seorang violinist asal Korea Selatan, Park Ji-hae, yang memainkan biolanya dengan sangat energik dan penuh penghayatan. Permainan biolanya itu menceritakan tentang kehidupan dirinya yang pernah dirundung depresi berat. Sampai saya sempat berkaca-kaca–bahkan, sudah hampir menangis–mendengarkan nada ballad yang berkesan depresif pada setiap notasinya. Saya hanya mampu merasakan saja, karena saya tidak begitu paham musik. Pokoknya, keren sekali!
Acara TEDx tersebut ditutup pada pukul 15.00 WIB. Banyak kesan dan ide-ide yang terejawantah dalam acara ini. Pembicara yang beragam latar belakang pendidikan, beragam keahlian, dan beragam impian, berusaha mentransfer gagasan-gagasan pembaharuannya pada para calon penerus bangsa. Yup, ini merupakan acara pertama TEDx di Solo, semoga di acara selanjutnya semakin lebih keren lagi. Hm, mungkin di acara TEDx tahun depan bisa mengundang dr. Gamal Albinsaid, seorang dokter muda yang berhasil mengatasi permasalahan lingkungan serta menciptakan lapangan pekerjaan akibat sampah.
Okay, sekian postingan saya kali ini. Sampai jumpa di postingan selanjutnya….:)
source: www.ted.com
P.S.: Saya tidak pernah bosan untuk meneror banyak orang dengan quotes andalan saya:
“Ayo membaca! Sudah baca bukukah kalian hari ini?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar