Jumat, 15 Agustus 2014

# College

Sidang Eksperimen di Dua Dasawarsa

“Entah ini suatu kebetulan atau bukan, momen dua dasawarsa  bertepatan dengan sidang Eksperimen adalah sebuah mimpi buruk atau anugerah? Akankah menjelma menjadi kado yang buruk atau indah?”
Rabu, 11 Juni 2014 adalah hari di mana umur saya mulai bertambah satu digit, mengubah  bilangan belasan menjadi puluhan. Yup, berbeda dengan momen pengurangan jatah umur saya seperti tahun-tahun sebelumnya, momen kali ini menyajikan hal istimewa. Ya, terlampau istimewa sehingga malam sebelum hari H perut saya terasa mulas karena cemas, khawatir, dan nervous berat. Tentu saja cemas berat, kelompok Eksperimen saya akan menghadapi sidang untuk mempresentasikan laporan penelitian beserta temuannya. Pada hari sebelumnya kami telah melakukan briefing dan latihan berkali-kali. Sebenarnya, sih, penguji sidang kami bukan dosen, tapi asisten yang merupakan kakak tingkat kami. Terdengar berlebihan memang, tapi kami berusaha menpersiapkannya sebaik mungkin dan memperkirakan beberapa kemungkinan ‘terburuk’ saat sidang berlangsung.
Teramat sulit menjadi kelompok paling pertama yang menghadapi sidang, itu berarti kami tidak bisa kepo-kepo kepada kelompok lain. Ya, meskipun dengan segala keterbatasan yang ada, kami memutar otak untuk mencari informasi seputar sidang kepada kakak tingkat – kecuali asisten. Jawaban mereka tentu saja beragam, sesuai dengan kondisi kelompok mereka. Semua informasi yang kami kumpulkan memang tidak meredakan ketegangan kami, bahkan malah semakin memperparah. Namun, dengan adanya informasi dan clue seputar pertanyaan yang paling sering ditanyakan penguji, kami dapat mengantisipasi sebelum menghadapi medan pertempuran.
Jam demi jam, menit demi menit, dan detik demi detik berlalu. Pasca kuliah, kami mulai menyiapkan segala hal yang berkaitan dengan proses sidang yaitu, laptop dan laporan. Ritme degup jantung saya kian cepat seiring dengan waktu sidang yang semakin dekat. Saya berulangkali mengigiti bibir saking cemasnya. Menelan ludah, meremas tangan, berulang kali menghela nafas, berusaha menenangkan diri dan mengenyahkan perasaan khawatir.
Waktu kian berlalu, kumandang adzan Ashar pun terdengar. Saya merasa saat itu seperti lemas dan ingin melarikan diri. Semacam mekanisme pertahanan diri antara fight or fear, attack or escape. Tak ada pilihan yang menyenangkan, mau tidak mau saya harus fight and attack. Kami pun bergegas ke mushola untuk menunaikan shalat Ashar terlebih dahulu sebelum bertempur. Rasa cemas mulai perlahan berkurang saat tubuh saya bersimpuh dan menengadahkan tangan kepada Sang Pengatur Segalanya. Berulangkali mengucap doa, memohon supaya lisan saya tidak membuat kesalahan yang dapat menjatuhkan kami.
Setelah shalat Ashar, kami pun berjalan dengan sedikit tergesa ke ruang kuliah yang dipersiapkan untuk sidang. Kami mulai mempersiapkan laptop, LCD, dan power point-nya tentu saja. Tak lama, ketiga asisten penguji pun memasuki ruangan. Jantung saya kembali berdebar kencang. Aduh, rasanya saya ingin mati saja, saat itu. Ketiga asisten penguji tersebut adalah, Mbak Devina, Mbak Hesti, dan Mbak Rafika. Glek! Hiks, kakak-kakak asisten cerdas dan paling kritis yang pernah saya temui di muka bumi. Tangan saya terasa dingin dan sedikit kebas. Aduh, ya Allah, lancarkan segalanya.
Semua asisten mulai siap di tempat duduknya, kami berjajar di depan kelas dalam posisi duduk juga. Dua orang dari kami pun dipilih asisten, Rio dan Rizky, masing-masing melaporkan hasil eksperimen intervensi dan non-intervensi. Masing-masing presentator melaporkan dari mulai judul, tujuan, sedikit landasan teori, teknik sampling, perhitungan statistik, hasil temuan beserta signifikansinya, serta kesimpulan. Presentasi tidak memerlukan waktu terlampau lama, lantas dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Inilah salah satu hal paling mendebarkan. Saya berulangkali meremas tangan saya, terasa basah berkeringat dan dingin seperti es. Jantung saya kembali bertalu-talu dengan hebatnya saat suara asisten memecah kesunyian dengan melontarkan sebuah pertanyaan pamungkas.
Sebagai seorang pencemas akut, saat ingin mengeluarkan sebuah statement perasaan saya selalu dikuasai oleh ketakutan yang luar biasa. It feels like, I can’t handle it anymore. Satu-satunya jalan adalah dengan memaksakan diri. Dengan segala kemampuan yang ada, saya dengan sok percaya diri menjawab setiap pertanyaan asisten, beserta tambahan dari teman-teman saya. Tentu saja diiringi dengan riuh degup jantung yang kian menghebat.
Kami berusaha saling menambahkan jawaban masing-masing anggota untuk memperkuat argumen kami di hadapan asisten. Saya melihat, jawaban dan pendapat dari teman-teman satu kelompok saya memang sangat bagus. Saya beruntung sekali memiliki teman kelompok yang passionate, responsible, pandai, dan menyenangkan seperti mereka. Semua pertanyaan sanggup kami jawab dengan lumayan. Kami berharap segala jawaban yang kami lontarkan dapat diterima secara logika dan tidak terdengar absurd oleh asisten. Haha.
Sesi tanya jawab pun usai, kami dipersilahkan oleh asisten untuk meninggalkan ruang sidang. Kami semua mengucapkan terima kasih dan menyalami kakak asisten satu persatu, kemudian mengemasi barang-barang kami kemudian bergegas keluar dari ruang sidang dengan perasaan lega. Ibarat orang buang air besar, rasanya lega kalau sudah selesai. Hahaha.
Anyway, sedikit cerita mengenai asisten penguji, Mbak Devina dan Mbak Hesti sering bertanya dan cenderung kritis, namun Mbak Rafika lebih sedikit melontarkan pertanyaan. Alhamdulillah, kami bersyukur sekali. Coba kalau ketiga-tiganya kritis dan sahut-menyahut memberondong kami dengan pertanyaan-pertanyaan maut, entah bagaimana nasib kami di ruang sidang tadi. Sudah mati atau masih hidup dengan penuh peluh hingga baju basah. Hahaha.
Yang fotoin siapa sih? Hahaha
Kami keluar ruangan dengan perasaan penuh kegembiraan. Rasanya beban berat yang ada di pundak sudah mulai berkurang satu persatu menyongsong akhir semeseter ini. Kami pun saling berpelukan bersama dengan kelompok kelas A yang juga sudah selesai sidang karena sidangnya bareng tapi beda ruangan. Kyaaaaaaaaa………. Rasanya legaaaaaa…. Saya tertawa-tawa penuh kegembiraan saat itu. Tawa lepas saya yang pertama selama semester empat mungkin. Hahaha.
Hari sudah semakin sore, sebelum kami pulang kami menyempatkan untuk berfoto-foto dan merekam video testimoni pasca sidang eksperimen. Sebenarnya kami berencana untuk makan-makan pasca sidang, tapi akhirnya hanya tiga orang saja yang makan bareng, Hentyn, Rizky, dan saya. Tapi, setelah itu, di lain hari kami janjian untuk menghabiskan sisa uang hasil iuran kami untuk makan-makan di warung Ayam Geprek, belakang kampus. Recommended banget makan di warung ini, terutama bagi para pecinta kuliner pedas, karena di warung ini kalian boleh me-request jumlah cabainya, tapi harga tetap sama. Pas di kantong mahasiswa banget, deh.
Inilah sekelumit cerita pengalaman sidang bertepatan dengan momen pribadi setahun sekali. Haha. Memang terlalu berlebihan deskripsi saya di atas, tapi begitulah adanya. Saya selalu jujur mengungkapkan perasaan saya dalam tulisan. Hehehe.  
Uyeee... akhirnya legaaa...
Teruntuk teman satu kelompok Eksperimen semester empat lalu, terima kasih atas kerjasama dan semangatnya selama ini. Maaf jikalau saya yang sudah kalian amanahi sebagai penanggung jawab kalian justru kurang dapat mengayomi kalian dengan kurang baik. Maafkan segala khilaf yang selama ini saya buat, yang seringkali membuat kalian bete, sebal, dan ingin mencakar-cakar muka saya, mungkin. Hahaha. Terima kasih atas segala kebahagiaan, canda tawa, suka dan duka, serta tanggung jawabnya selama ini. Terima kasih atas segala kritik pedas, ‘tamparan’, dan nasihat yang kalian berikan kepada saya sehingga saya dapat memperbaiki segala kesalahan saya selama membersamai kalian. Terima kasih kalian yang telah memaklumi segala keterbatasan dan kekurangan saya. Maaf jika saya selalu mengecewakan kalian selama bekerja dengan kalian.
Seorang ketua tentu tidak ada apa-apanya tanpa orang-orang hebat di sampingnya. Terima kasih banyaaaaaaaaaakkkkk…. :’)
Calon Psikolog Hebat! Aaamiin...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar